Disusun
guna memenuhi tugas mata kuliah Anak Berbakat Dan Berkebutuhan Khusus
Dosen pengampu: M.A.
Primaningrum Dian, S.Psi., M.Psi., Psi
Oleh
kelompok 6:
Gampang
Sumartin NPM 12110170
Indah
Tri Utami NPM 12110178
Siti
Masitoh NPM 12110181
Yulia
Kurniawati NPM 12110182
Khasanatul Lidayati NPM 12110183
Liska
Maya Rina NPM 121101185
Ismadi
NPM
12110026
Topik
Arifin NPM 10110329
Kelas:
6A
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN
BIMBINGAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI SEMARANG
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan
penyusunan makalah yang berjudul “Tunagrahita”. Penulisan makalah ini
guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Anak Berbakat Dan
Berkebutuhan Khusus.
Dalam penulisan makalah
ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
dalam menyelesaikan penulisan makalah ini, khususnya kepada :
1.
Ibu M.A. Primaningrum
Dian, S.Psi., M.Psi., Psi selaku dosen pengampu mata kuliah Anak Berbakat Dan
Berkebutuhan Khusus.
2.
Semua pihak yang
terlibat dan yang telah memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini.
Akhirnya penulis sadar
bahwa dalam penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk
itu kritik dan saran dari semua pihak terutama kepada dosen pengampu sangat
penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Semarang, 3 April 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………… ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………….. iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang ………………………………………………………………… 1
B.
Rumusan
Masalah …………………………………………………………..…. 1
C.
Tujuan …………………………………………………………………………. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Anak Tunagrahita
……………………..…………………….……..... 3
B.
Klasifikasi
Anak Tunagrahita …………………………………………….…....... 4
C.
Etiologi Anak Tunagrahita ………………………..…………….…………......... 5
D.
Dampak Ketunagrahitaan
……...………………………..……………………...... 7
E.
Kemampuan Bahasa Dan Bicara Anak
Tunagrahita …………………………........ 10
F.
Penyesuaiana Sosial Anak Tunagrahita
………………………………………........ 12
G.
Modifikasi Tingkahlaku Anak Tunagrahita ……………………………………….... 13
BAB III PENUTUP
A. Simpulan ……………………………………………………………………… 16
B. Saran …………………………………………………………………………... 16
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Istilah
tunagrahita (intellectual disability)
atau dalam perkembangan sekarang lebih dikenal dengan istilah developmental disability, sering keliru
dipahami oleh masyarakat, bahkan sering terjadi pada para professional dalam
bidang pendidikan luar biasa didalam memahami konsep tunagrahita. Perilaku
tunagrahita yang kadang-kadang aneh, tidak lazim dan tidak cocok dengan situasi
lingkungan seringkali menjadi bahan tertawaan dan olok-olok orang yang berada
didekat mereka. Keanehan tingkah laku tunagrahita dianggap oleh masyarakat
sebagai orang sakit jiwa atau orang gila. Tunagrahita sesungguhnya bukan orang
gila, perilaku aneh dan tidak lazim itu sebetulnya merupakan manifestasi dari
kesulitan meraka didalam menilai situasi akibat dari rendahnya tingkat
kecerdasan. Dalam pengertian lain terdapat kesenjangan yang signifikan antara
kemampuan berfikir dengan perkembangan usia.
Keterbelakangan
mental yang biasa dikenal dengan anak tunagrahita biasa dihubungkan dengan
tingkat kecerdasan seseorang. Tunagrahita memiliki arti menjelaskan kondisi
anak yang kecerdasannya jauh dibawah rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan
intelegensi dan ketidak cakapan dalam interaksi sosial. Kemampuan adaptif seseorang tidak selamanya tercermin pada hasil
tes IQ. Latihan, pengalaman, motivasi, dan lingkungan sosial sangat besar
pengaruhnya pada kemampuan adaptif seseorang.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apakah
pengertian anak tunagrahita?
2. Bagaimanakah
klasifikasi anak tunagrahita?
3. Bagaimanakah
etiologi anak tunagrahita?
4. Bagaimanakah
dampak ketunagrahitaan?
5. Bagaimanakah
kemampuan bahasa dan bicara anak tunagrahita?
6. Bagaimanakah
penyesuaiana sosial anak tunagrahita?
7. Bagaimanakah
modifikasi tingkahlaku anak tunagrahita?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian anak tunagrahita.
2. Untuk
mengetahui klasifikasi anak tunagrahita.
3. Untuk
mengetahui bagaimana etiologi anak tunagrahita.
4. Untuk
mengetahui bagaimana dampak
ketunagrahitaan.
5. Untuk
mengetahui bagaimana kemampuan bahasa
dan bicara anak tunagrahita.
6. Untuk
mengetahui bagaimana penyesuaiana sosial
anak tunagrahita.
7. Untuk
mengetahui bagaimana modifikasi
tingkahlaku anak tunagrahita.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Anak Tunagrahita
Batasan
anak berkelainan mental subnormal atau tunagrahita, para ahli dalam beberapa
referensi mendefinisikan secara berbeda. Seseorang dikatakan berkelainan mental
subnormal atau tunagrahita jika ia memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian
rendahnya (dibawah normal), sehingga untuk meniti tugas perkembangannya
memerlukan bantuan atau layanan secara spesifik, termasuk dalam program
pendidikannya. (Bratanata, 1979).
Penafsiran
yang salah sering kali terjadi di masyarakat awam bahwa keadaan kelainan mental
subnormal atau tunagrahita dianggap seperti suatu penyakit sehingga dengan
memasukkan ke lembaga pendidikan atau perawatan khusus anak diharapkan dapat
normal kembali. Penafsiran tersebut sama sekali tidak benar sebab anak
tunagrahita dalam jenjang manapun sama sekali tidak ada hubungannya penyakit
atau sama dengan penyakit (Kirk, 1970).
Edgar
Doll berpendapat seseorang dikatakan tunagrahita jika: (1) Secara social tidak
cakap, (2) secara mental dibawah normal, (3) kecerdasanya terhambat sejak lahir
atau pada usia muda, (4) kematangannya terhambat (Kirk, 1970). Sedangkan
menurut The American Assotiation on
Mental Deficiency (AAMD), seseorang dikatakan tunagrahita apabila
kecerdasannya secara umum dibawah rata-rata dan mengalami kesulitan penyesuaian
social dalam setiap fase perkembangannya (Hallahan dan Kauffman, 1986).
Tunagrahita
merupakan kondisi yang kompleks, menunjukkan kemampuan intelektual yang rendah
dan mengalami hambatan dalam perilaku adaptif. Seseorang tidak dapat
dikegorikan sebagai tunagrahita apabila tidak mempunyai dua hal tersebut yaitu,
perkembangan intelektual yang rendah dan kesulitan dalam perilaku adaptif.
Dalam pengertian lain seseorang baru dapat dikategorikan tunagrahita apabila
kedua syarat tadi dipenuhi.
Istilah
perilaku adaptif diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam memikul
tanggungjawab social menurut ukuran normal social tertentu, dan bersifat
kondisi sesuai dengan tahap perkembangannya. Hambatan dalam perilaku adaptif
pada tunagrahita dapat dilihat dalam tujuh area yaitu; (1) terhambat dalam
perkembangan keterampilan sensorimotor, (2) terhambat dalam keterampilan
komunikasi, (3) terhambat dalam keterampilan menolong diri, (4) terhambat dala
sosialisasi, (5) terhambat dalam mengaplikasikan keterampilan akedemik dalam
kehidupan sehari-hari, (6) terhambat dalam menilai situasi lingkungan secara
tepat dan (7) terhambat dalam menialai keterampilan sosial. Aspek 1 sampai
dengan 4 dapat diobservasi pada masa bayi dan kanak-kanak, sementara aspek 5
sampai dengan 7 dapat diobservasi pada masa remaja.
Karakteristik
anak dengan hendaya perkembangan (tunagrahita), meliputi hal-hal sebagai
berikut:
a. Mempunyai
dasar secara fisiologis, sosial, dan emosional sama seperti anak-anak yang
tidak menyandang tunagrahita.
b.
Selalu bersifat eksternal locus of control sehingga
mudah sekali melakukan kesalahan (expectancy
for filure).
c. Suka
meniru perilaku yang benar dari orang lain dalam upaya mengatasi
kesalahan-kesalahan yang mungkin ia lakukan (outerdirectedness).
d. Mempunyai
perilaku yang tidak dapat mengatur diri sendiri.
e. Mempunyai
permasalahan berkaitan dengan perilaku sosial (social behavioral).
f. Mempunyai
masalah berkaitan dengan karakteristik belajar.
g. Mempunyai
masalah dalam bahasa dan pengucapan.
h. Mempunyai
masalah dalam kesehatan fisik.
i.
Kurang mampu untuk berkomunikasi.
j.
Mempunyai kelainan pada sensori dan
gerak.
k. Mempunyai
masalah berkaitan dengan psikiatrik, adanya gejala-gejala depresif menurut
hasil penelitian dari Meins tahun
1995 (Smith, et al.. 2002: 278-289).
B. Klasifikasi
Anak Tunagrahita
Berbagai
cara digunakan para ahli dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita. Berikut
diuraikan klasifikasi menurut berbagai tinjauan profesi. Seorang dokter dalam
mengklasifikasikan anak tunagrahita didasarkan pada tipe kelainan fisiknya,
seperti tipe mongoloid, microcephalon, cretinism, dan lain-lain. Seorang
pekerja social dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita didasarkan pada
derajat kemampuan penyesuaian diri atau ketidakketergantungan kepada orang
lain. Seorang psikolog dalam mengklisifikasi anak tunagrahita mengarah kepada
aspek indeks mental intelegensinya, indikasinya dapat dilihat pada angka tes
kecerdasan, seperti IQ 0-25 dikategorikan idiot, IQ 25-50 dikategorikan
imbecil, dan IQ 50-75 kategori debil
atau moron. Seorang pedagog dalam mengklasifikasi anak tunagrahita didasarkan
pada penilaian program pendidikan yang disajikan pada anak, dari penilaian
tersebut dapat dikelompokkan menjadi anak tunagrahita mampu didik, anak
tunagrahita mampu latih, dan anak tunagrahita mampu rawat.
Anak
tunagrahita mampu didik (debil) adalah
anak tunagrahita yang tidak mampu mengikuti pada program sekolah biasa, tetapi
ia masih memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pendidikan walaupun
hasilnya tidak maksimal. Kemampuan yang dapat dikembangkan pada anak
tunagrahita mampu didik anatara lain: (1) membaca, menulis, mengeja, dan
berhitung; (2) menyesuaikan diri dan tidak menggantungkan diri kepada orang
lain; (3) keterampilan yang sederhana untuk kepentingan kerja dikemudian hari.
Kesimpulannya, anak tunagrahita mampu didik berarti anak tunagrahita yang dapat
dididik secara minimal dalam bidang-bidang akademis, social, dan pekerjaan.
Anak
tunagrahita mampu latih (imbecil) adalah anak tunagrahita yang memiliki
kecerdasan sedemikian rendahnya sehingga tidak mungkin untuk mengikuti program
yang diperuntukkan bagi anak tunagrahita mampu didik. Oleh karena itu, beberapa
kemampuan anak tunagrahita mampu latih yang perlu diberdayakan, yaitu (1)
belajar mengurus diri sendiri, misalnya; makan, pakaian, tidur, atau mandi
sendiri, (2) belajar menyesuaikan di lingkungan rumah atau sekitarnya, (3)
mempelajari kegunaan ekonomi di rumah, di bengkel kerja, atau di lembaga
khusus. Kesimpulannya, anak tunagrahita mampu latih berarti anak tunagrahita
hanya dapat dilatih untuk mengurus diri sendiri melalui aktivitas kehidupan
sehari-hari (activity daily living), serta melakukan fungsi sosial
kemasyarakatan menurut kemapuannya.
Anak
tunagrahita mampu rawat (idiot) adalah anak tunagrahita yang memiliki
kecerdasan sangat rendah sehingga ia tidak mampu mengurus diri sendiri atau
sosialisasi. Untuk mengurus kebutuhan diri ssendiri sangat membutuhkan lorang
lain. Dengan kata lain, anak tunagrahita mampu rawat adalah anak tunagrahita
yang membutuhkan perawatan sepenuhnya sepanjang hidupnya, karena ia tidak mampu
terus hidup tanpa bantuan orang lain (totally dependent) (Patton, 1991).
C. Etiologi
Anak Tunagrahita
Menelaah
sebab terjadinya ketunagrahitaan pada seseorang menurut kurun waktu terjadinya,
yaitu dibawa sejak lahir (factor endogen) dan factor dari luar seperti penyakit
atau keadaan lainnya (factor eksogen).
Kirk
(1970) berpendapat bahwa ketunagrahitaan karena factor endogen, yaitu factor
ketidaksempurnaan psikobiologis dalam memindahkan gen. sedangkan factor
eksogen, yaitu factor yang terjadi akibat perubahan patologis dari perkembangan
normal.
Dari
sisi pertumbuhan dan perkembangan, penyebab ketunagrahitaan menurut Devenport
dapat dirinci melalui jenjang berikut: (1) kelainan atau ketunaan yang timbul
pada benih plasma, (2) kelainan atau ketunaan yang dihasilkan selama penyuburan
telur, (3) kelainan atau ketuanaan yang dikaitkan dengan implantasi, (4)
kelainan atau ketunaan yang timbul dalam embrio, (5) kelainan atau ketunaan
yang timbul dari luka saat kelahiran, (6) kelainan atau ketunaan yang timbul
dalam janin, dan (7) kelainan atau ketunaan yang timbul pada masa bayi dan masa
kanak-kanak.
Selain
sebab-sebab diatas, ketunagrahitaanpun dapat terjadi karena: (1) radang otak,
(2) gangguan fisiologis, (3) factor hereditas, dan (4) pengaruh kebudayaan
(Kirk & Johnson, 1951). Radang otak merupakan kerusakan pada area otak
tertentu yang terjadi saat kelahiran. Radang otak ini terjadi karena adanya
pendarahan dalam otak. Pada kasus yang ekstrem, peradangan akibat pendarahan
menyebabkan gangguan motorik dan mental. Sebab-sebab yang pasti sekitar
pendarahan yang terjadi dalam otak belum dapat diketahui. Hedrocephalon
misalnya, keadaan diduga karena peradangan pada otak. Gejala yang tampak yaitu
membesarnya tengkorak kepala disebabkan makin bertambahnya cairan
cerebrospinal. Tekanan yang terjadi pada otak menyebabkan kemunduran fungsi
otak demikian pula cerebal anoxia, yakni kekurangan oksigen dalam otak dan
menyebabkan otak tidak berfungsi dengan baik tanpa adanya oksigen yang cuku.
Penyakit-penyakit inveksi lainnya yang menjadi penyebab ketunagrahitaan,
seperti measles, scarlet fever, meningitis, encephalitis, diphtheria, dan
cacar, dapat menjadi penyebab terjadinya peradangan otak.
Gangguan
fisiologis berasal dari virus yang dapat menyebabkan ketunagrahitaan
diantaranya rubella (campak jerman). Virus ini sangat berbahaya dan berpengaruh
sangat besar pada tri semester pertama saat ibu mengandung, sebab akan memberi
peluang timbulnya keadaan ketunagrahitaan terhadap bayi yang dikandung. Selain
rubella, bentuk gangguan fisiologis lain adalah rhesus factor, mongoloid
(penampakan fisik mirip keturunan orang mongol) sebagai akibat gangguan
genetik, dan cretinisme atau kerdil sebagai akibat gangguan kelenjar tiroid.
Faktor
hereditas atau keturunan diduga sebagai penyebab terjadinya ketunagrahitaan
masih sulit dipastikan kontribusinya sebab para ahli sendiri mempunyai
formulasi yang berbeda mengenai keturunan sebagai penyebab ketunagrahitaan.
Faktor
kebudayaan adalah factor yang berkaitan dengan segenap perikehidupan lingkungan
psikososial. Dalam beberapa abad factor kebudayaan sebagai penyebab ketunagrahitaan sempat
menjadi masalah yang kontroversial. Di satu sisi, factor kebudayaan memang
mempunyai sumbangan positif dalam membangun kemampuan psikofisik dan psikososial
anak secara baik, namun apabila faktor-faktor tersebut tidak berperan baik,
tidak manutup kemungkinan berpengaruh terhadap perkembangan psikofisik dan
psikososial anak. Contoh kasus anak idiot yang di temukan Itard dari hutan
Aveyron, ataupun anak yang ditemukan hidup diantara serigala di India seperti
yang ditulis Arnold Gesel. Walaupun anak tersebut kemudian dirawat dan
mendapatkan intervensi pendidikan secara ekstrem, ternyata tidak mampu
membuatnya menjadi manusia normal kembali.
Faktor
etiologi biomedik sebagai penyebab ketunagrahitaan menurut Kanner, yakni 6,4%
akibat trauma lahir dan anoxia prenatal, 35,61% akibat factor genetik, 6,2%
akibat penyakit infeksi prenatal, 5 % akibat infeksi otak setelah lahir, dan 2%
lainnya adalah lahir prematur. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan di
Inggris dan beberapa Negara lain di Amerika, prevalensi anak tunagrahita
berdasarkan tingkat sosial ekonomi dan kebudayaan tempat anak berasal. Makin
tinggi kelas makin sedikit frekuensinya, kelas dalam masyarakat tinggi
diasumsikan memiliki kehidupan social ekonomi yang tinggi pula sehingga
memungkinkan layanan kesehatan psikofisik dapat dipenuhi dengan baik, serta
dapat menekan tumbuhnya kelainan dalam kecerdasan rendah yang lebih besar
(faktor eksternal).
D. Dampak
Ketunagrahitaan
Kecerdasan
yang dimiliki seseoranag disamping menggambarkan kesanggupan secara mental
seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap situasi dan kondisi yang baru, atau kesanggupan untuk bertindak
secara terarah, berfikir secara rasional dalam menghadapi lingkungan secara
efektif, juga sebagai kesanggupan untuk belajar dan berfikir secara abstrak.
Teori
kecerdasan berasumsi bahwa kecerdasan bukanlah suatu unsur yang beraspek
tunggal, melainkan terdiri dari beberapa unsur atau kemampuan, yaitu kemampuan
yang bersifat umum dan kemampuan yang bersifat khusus. Kemampuan umum yang
dimaksud adalah rangkuman dari berbagai kemampuan pada bidang tertentu,
sedangkan kemampuan khusus adalah kemampuan yang dimiliki pada bidang-bidang tertentu.
Pada
dasarnya, anak yang memiliki kemampuan kecerdasan dibawah rata-rata normal atau
tunagrahita menunjukkan kecenderungan rendah pada fungsi umum kecerdasannya,
sehingga banyak hal menurut persepsi orang normal dianggap wajar terjadi akibat
dari suatu proses tertentu, namun tidak demikian halnya menurut pers yang
mempunyai pepsi anak yang mempunyai kecerdasan sangat rendah. Hal-hal yang
dianggap wajar oleh anak normal barangkali dianggap sesuatu yang sangat
mengherankan oleh anak tunagrahita. Semua itu terjadi karena keterbatasan
fungsi kognitif anak tunagrahita.
Fungsi
kognitif adalah kemampuan seseorang untuk mengenal atau memperoleh pengetahuan.
Pada anak tunagrahita, gangguan fungsi kognitifnya terjadi pada kelemahan salah
satu atau lebih dalam proses (diantara proses persepsi, ingatan, pengembangan
ide, penilaian dan penalaran). Oleh sebab itu, meskipun usia kalender anak
tunagrahita sama dengan anak normal namun prestasi yang diraih berbeda dengan
anak normal.
Dalam
berbagai studi diketahui bahwa ketidakmampuan anak tunagrahita meraih prestasi
yang lebih baik dan sejajar dengan anak normal, karena kesetiaan ingatan anak
tunagrahita sangat lemah dibanding dengan anak normal. Maka tidak heran, jika
instruksi yang diberikan kepada anak tunagrahita cenderung tidak melalui proses
analisis kognitif. Akibatnya anak tunagrahita jika dihadapkan pada persoalan
yang membutuhkan proses pemanggilan kembali pengalaman atau peristiwa yang lalu
sering kali mengalami kesulitan.
Inhelder
(1968) dalam penelitiannya menemukan: (1) penyandang tunagrahita berat
perkembangan kognitifnya terhambat pada tingkat perkembangan sensomotorik, (2)
pada penyandang tunagrahita ringan perkembangan kognitifnya terhenti pada
perkembangan operasional konkret (Kirk, 1970).
Perangkat
yang digunakan untuk mengukur derajat ketunagrahitaan seseorang dapat dilakukan
dengan memberikan berbagai macam tes kecerdasan, dalam hal ini yang umun
digunakan ialah Stanford-Binet dan Revise Weschler Scale for Children (WISC-R).
materinya meliputi performance test (menyusun balok, mengatur warna, menggambar
dengan kertas dan pensil, dan tes verbal/ tes perbendaharaan kata).
Kesimpulannya,
keterlambatan perkembangan kognitif pada anak tunagrahita menjadi masalah besar
bagi anak tunagrahita ketika meniti tugas pekembangannya. Beberapa hambatan
yang tampak pada anak tunagrahita dari segi kognitif dan sekaligus menjadi
karakteristiknya yaitu sebagai berikut:
1. Cenderung
memiliki kemampuan berpikir konkret dan sukar berfikir.
2. Mengalami
kesulitan dalam konsentrasi.
3. Kemampuan
sosialisasinya terbatas.
4. Tidak
mampu menyimpan instruksi yang sulit.
5. Kurang
mampu menganalisis dan menilai kejadian yang dihadapi.
6. Pada
tunagrahita mampu didik, prestasi tinggi bidang baca, tulis, hitung tidak lebih
dari anak normal setingkat kelas III-IV sekolah dasar.
Dalam
buku Delphie, Bandi : 2006 hambatan-hambatan yang dihadapi anak dengan hendaya
perkembangan adalah sebagai berikut:
a. Pada
umumnya anak dengan hendaya perkembanagan mempunyai pola perkembangan perilaku
yang tidak sesuai dengan kemapuan potensialnya.
b. Anak
dengan hendaya perkembangan mempunyai kelainan perilaku mal adaftif dengan
sifat agresif secara verbal atau fisik, perilaku yang suka menyakiti diri
sendiri, perilaku suka menghindarkan diri dari orang lain, suka menyendiri,
suka mengucapkan kata atau kalimat yang tidak masuk akal atau sulit dimengerti
maknanya, rasa takut yang tidak menentu sebab akibatnya, selalu ketakutan dan
sikap suka bermusuhan.
c. Pribadi
anak dengan hendaya perkembagan mempunyai kecenderungan yang sangat tinggi
untuk melakukan tindakan yang salah.
d. Masalah
yang berkaitan dengan kesehatan khusus seperti terhambatnya perkembangan gerak,
tingkat pertumbuhan yang tidak normal, kecacatan sensori, khususnya pada
persepsi penglihatan dan pendengaran sering tampak pada anak dengan hendaya
perkembangan.
e. Sebagian
dari anak dengan hendaya perkembangan memiliki kelainan penyerta cerebal palsy, kelainan saraf otot yang
disebabkan oleh kerusakan bagioan tertentu pada otak saat ia dilahirkan ataupun
saat awal kehidupan.
f. Secara
keseluruhan anak dengan hendaya perkembangan mempunyai kelemahan pada segi:
1) Keterampilan
gerak
2) Fisik
yang kurang sehat
3) Koordinasi
gerak
4) Kurangnya
perasaan percaya diri terhadap situasi dan keadaan sekelilingnya
5) Keterampilan
gross dan fine motor yang kurang
g. Dalam
aspek keterampilan social, anak dengan hendaya perkembangan umumnya tidak
mempunyai keterampilan social, antara lain suka menghindar dari keramaian,
ketergantungan hidup pada keluarga, kurangnya kemampuan mengatasi marah, rasa
takut yang berlebihan, kelainan peran seksual, kurang mampu berkaiatan dengan
kegiatan yang melibatkan kemampuan intelektual, dan mempunyai pola perilaku
seksual secara khusus.
h. Anak
dengan hendaya perkembangan mempunyai keterlambatan pada berbagai tingkat dalam
pemahaman dan penggunaan bahasa, masalah bahsa dapat mempengaruhi perkembanagn
kemandirian dan dapat menetap hingga usia dewasa.
i.
Pada beberapa anak dengan hendaya
perkembanagan mempunyai keadaan lain yang menyertai, seperti autism, cerebral palsy, gangguan
perkembangan lain (nutrisi, sakit dan penyakit, kecelakaan dan luka), epilepsy,
dan disabilities fisik dalam berbagai porsi.
E. Kemampuan
Bahasa Dan Bicara Anak Tunagrahita
Untuk
mengembangkan kemampuan bahasa dan bicara pada anak normal barangkali tidak
banyak menemui hambatan yang berarti, karena mereka dapat dengan mudah
memanfaatkan potensi psikofisik dalam perolehan kosakata sebagai upaya untuk
meningkatkan kemampuan bahasa dan bicaranya. Hal ini dikarenakan kecerdasan
sebagai salah satu aspek psikologis mempunyai kontribusi cukup besar dalam
mekanisasi fungsi kognisi terhadap stimulasi verbal maupun nonverbal, terutama
yang memiliki unsur kebahasaan. Namun tidak demikian halnya bagi anak
tunagrahita, apa yang dilakukan oleh anak normal sulit untuk diikuti oleh anak
tunagrahita. Seringkali stimulasi verbal maupun nonverbal dari lingkungan gagal
ditransfer dengan baik oleh anak tunagrahita. Bahkan hal-hal yang tampaknya
sederhana terkadang tidak mampu dicerna dengan baik, akibatnya peristiwa
kebahasaan yang lazim terjadi di sekitarnya menimbulkan keanehan bagi dirinya.
Pada
anak tunagrahita agak berat (mampu latih), kegagalan melakukan apersepsi
terhadap suatu peristiwa bahasa, kerapkali diikuti gangguan artikulasi bicara.
Penyertaan kelainan sekunder ini, maka hal-hal yang tampak pada anak
tunagrahita mampu latih dalam berkomunikasi, disamping struktur kalimat yang
disampaikannya cenderung tidak teratur, juga dalam pengucapannya seringkali
terjadi omisi (pengurangan kata) maupun distorsi (kekacauan dalam ;pengucapan).
Untuk
mengembangkan kemampuan bahasa dan bicara anak tunagrahita secara maksimal,
tentunya perlu upaya dan strategi khusus. Satu hal yang perlu dipahami bagi
guru, langkah pertama sebelum mangajarkan hal-hal yang lebih besar, sedapatnya
diajarkan untuk menhyebutkan namanya. Tujuannya, disamping anak tunagrahita
suka menyebutkan namanya, juga dapat menambah motivasi belajar. Setelah itu
kita dapat menggiring konsentrasi anak dengan menyeluruh melihat satu persatu
benda yang akan diperkenalkan, serta menyebutkan namanya dengan baik dan jelas.
Ketika anak tunagrahita mulai menyebutkan nama benda yang ditunjukkan, pada
saat yang sama dapat mengontrol artikulasi bicaranya dan membetulkan jika
terjadi kesalahan. Apabila penguasaan kosakata sudah baik, dapat dilanjutkan dengan
memperkenalkan benda dilingkungan sekitarnya, seperti delman, sungai, mobil,
sepeda, dan lain-lain.
Selain
melalui upaya-upaya di atas, upaya lain untuk mengembangkan kemampuan bahasa
dan bicara anak tunagrahita, yaitu model pembelajaranyang membawa anak
tunagrahita dalam situasi yang wajar dan alamiah, misalnya menyebut nama-nama
benda yang kita pakai ketika anak turut membantu pekerjaan kita, serta
mengulangi beberapa kali sehingga anak mampu memahaminya.
Beberapa
model latihan pendahuluan yang berfungsi sebagai pendukung dalam pengembangan
kemampuan bahasa dan bicaranya, antara lain sebagai berikut.
1. Latihan
pernafasan
Latihan ini dapat
dilakukan dengan meniup perahu kecil dari kertas/plastik yang diapungkan diair,
meniup lilin pada jarak tertentu, meniup kincir dari kertas sampai berputar,
atau meniup gelembung balon dari busa dan kapas ke udara.
2. Latihan
otot bicara separti lidah, bibir, dan rahang
Untuk latihan ini, anak
tunagrahita disuruh mengunyah, menelan, batuk-batuk, atau menggerakkan bibir, lidah,
dan rahangnya. Sarananya dapat menggunakan permen yang dikunyah dan
berpindah-pindah dari kanan ke kiri diletakkan diujung lidah sambil dijulurkan,
mengunyah makanan atau madu yang dioleskan disekitar bibir dan anak disuruh
membersihkan dengan lidahnya.
3. Latihan
pita suara
Latihan ini diarahkan
untuk menyebutkan nama-nama benda yang ada disekitar dengan menggunakan kata
lembaga, yaitu daftar kata yang disusun sesuai dengan tingkat kesulitan
konsonan tertentu, dapat dimasukkan pula menirukan suara macam-macam binatang
dan benda-benda lain di sekitarnya sebagai improvisasinya, seperti suara
kucing, anjing, bebek, ayam jantan/betina, kerbau, sirine, klakson kereta api,
jam welker, mobil, pesawat terbang, dan lain-lain.
F.
Penyesuaiana Sosial Anak Tunagrahita
Pada
anak normal dalam melewati setiap tahapan perkembangan social dapat berjalan
seiring dengan tingkat usianya. Namun tidak dengan demikian halnya dengan anak
tuna grahita, pada setiap tahapan perkembangan social yang dialami anak
tunagrahita selalu mengalami kendala sehingga seringkali tampak sikap dan
perilaku anak tunagrahita berada dibawah usia kalendernya, dan ketika usis 5-6
tahun mereka belum mencapai kematangan untuk belajar di sekolah (Bratanata,
1979).
Beberapa
studi menunjukkan bahwa terlambatnya sosialisasi anak tunagrahita ada
hubungannya dengan taraf kecerdasannya yang sangat rendah.
Indikasi keterlambatan
anak tunagrahita dalam bidang social umumnya terjadi karena hal-hal berikut.
1. Kurangnya
kesempatan yang diberikan pada anak tunagrahita untuk melakukan sosialisasi.
2. Kekurangan
motivasi untuk melakukan sosialisasi.
3. Kekurangan
bimbingan untuk melakukan sosialisasi.
Sebagai
makhluk individu dan social, anak tunagrahita mempunyai hasrat untuk memenuhi
segala kebutuhan sebagaimana layaknya anak normal lainnya, tetapi upaya anak
tunagrahita lebih sering mengalami kegagalan atau hambatan berarti. Akibatnya
anak tunagrahita mudah frustasi, dari perasaan frustasi tersebut pada
gilirannya akan muncul perilaku menyimpang sebagai reaksi dari mekanisme pertahanan
diri, dan sebagai wujud penyesuaian social yang salah (maladjusted).
Perilaku orang lain
yang kurang wajar terhadap anak tunagrahita atau lemahnya konsentrasi anak
tunagrahita terhadap tujuan, menjadi salah satu penyebab anak tunagrahita mudah
dipengaruhi untuk berbuat hal-hal yang jelek. Demikian juga rendahnya tingkat
kematangan emosi dan kesukaran anak tunagrahita untuk memahami aturan atau
norma yang ada dilingkungannya, merupakan unsur-unsur yang dapat menyuburkan
tumbuhnya penyimpangan perilaku bagi anak tunagrahita.
Oleh
karena itu untuk membantu anak tunagrahita agar dapat mencapai penyesuaian
social dengan baik, ada hal-hal yang perlu diperhatikan, yaitu
1. kurikulum
sekolah harus memperhatikan kebutuhan anak tunagrahita
2. kondisi
sekitar lingkungan harus kondusif
3. pemenuhan
kebutuhan dasar anak tunagrahita
4. bimbingan
dan latihan kerja
Terlepas
dari upaya-upaya tersebut diatas, dalam rangka membantu anak tunagrahita
mencapai penyesuaian yang akurat, peranan orang tua atau keluarga memiliki
sumbangan terbesar. Dalam hal ini bagaimana pun baiknya program sekolah yang
direncanakan untuk anak tunagrahita, jika tidak dibarengi dengan tindakan dan
sikap orang tua/ keluarga secara konstruktif dan edukatif barangkali tidak
banyak artinya.
G. Modifikasi
Tingkahlaku Anak Tunagrahita
Jenis
terapi perilaku lain yang dapat dilakukan untuk anak tunagrahita, yaitu melalui
kegiatan bermain (kegiatan fisik/ atau psikis yang dilakukan tidak dengan
sungguh-sungguh). Freud berpandangan bahwa bermain merupakan cara seseorang
untuk membebaskan diri dari berbagai tekanan yang kompleks, merugikan. Melalui
kegiatan bermain perasaan menjadi lega, bebas, dan berarti. Mengingat
urgensinya bermain bagi anak tunagrahita dewasa ini aktivitas bermain
berkembang menjadi play therapy.
Terapi
permainan yang diperuntukkan bagi anak tunagrahita bukan sembarang permainan
tetapi permainan yang memiliki muatan antara lain: (1) setiap permainan
hendaknya memiliki nilai terapi yang berbeda, (2) sosok permainan yang
diberikan tidak terlalu sukar untuk dicerna anak tunagrahita (Prasedio, 1976).
Beberapa nilai yang penting dari bermain bagi perkembangan anak tunagrahita,
antara lain sebagai berikut.
1. Pengembangan
fungsi fisik, misalnya pernafasan, pertukaran zat, peredaran darah dan
pencernaan makanan, dapat dibantu dilancarkan melalui kegiatan bermain, baik
bantuan pada satu aspek fungsi fisik maupun lebih.
2. Pengembangan
sensomotorik, melalui bermain melatih pengindraan (sensoris) seperti ketajaman
penglihatan, pendengaran, perabaan atau penciuman, disamping melatih otot dan
kemampuan gerak, seperti tangan, kaki, leher, dan gerak tubuh lainnya.
3. Pengembangan
daya khayal, melalui bermain, anak tunagrahita diberikan kesempatan untuk mampu
menghayati makna kebebasan sebagai sarana yang diperlukan untuk pengembagan
daya khayal dan kreasinya.
4. Pembinaan
pribadi, dalam bermain anak pun sebenarnya berlatih memperkuat kemauan,
memusatkan perhatian, mengembangkan keuletan, ketekunan, percaya diri, dan
lainnya.
5. Pengembangan
sosialisasi, ada unsure yang menarik yaitu anak harus berbesar hati menunggu
giliran, rela menerima kekalahan, setia dan jujur.
6. Pengembangan
intelektual, melalui bermain anak tunagrahita belajar mencerna sesuatu.
Contohnya, peraturan dan skor yang diperoleh dalam permainan. Teknisnya, misal
dalam setiap langkah yang harus dilakukan dalam permainan, ada kesempatan bagi
anak tunagrahita untuk mengaktualisasikan kemampuannya melalui ucapan atas apa
yang dilihat dan didengar tentang permaianan yang dilakukan. Secara tidak
langsung cara ini sebenarnya merupakan bagian dari pengembangan intelektual
anak tunagrahita.
Beberapa
model permainan yang menekankan pada pengembangan kecerdasan dan motorik halus
yang cenderung bersifat individual, antara lain sebagai berikut.
1. Latihan
menuangkan air, pertama-tama anak diberi latihan menuang air dengan jumlah
sedikit melalui contoh yang diberikan. Semakin teratur dan tanpa tetesan dalam
menuangkan air, maka semakin baik kemampuannya.
2. Bermain
pasir, botol dan panci sebagai tempat menuang air, dan pasir yang telah
dituangkan ke botol dan panci tersebut dituangkan kembali ke ember. Bermain
pasir seperti ini dapat pula menggunakan pasir basah, anak tunagrahita diajak
berkhayal untuk mencetak benda-benda yang diinginkan seperti kue, bangunan,
gedung, gunung, dan lain sebagainya.
3. Bermaian
tanah liat, barangkali kegiatan yang dilakukan hanya mengepal-ngepal saja.
Namun apabila diberikan bimbingan dan latihan, kegiatan tersebut dapat
diarahkan membentuk benda-benda disekitarnya, seperti boneka, asbak dan
lainnya. Setelah selesai dan dikeringkan dapat dapat dicat dengan barbagai
warna agar menarik perhatiannya dan timbul motivasi untuk berbuat lagi yang
lebih baik.
4. Meronce
manik-manik, pertama kali yang diajarkan yaitu meronce manik-manik yang besar
kemudian dilanjutkan dengan yang kecil dengan menggunakan benang atau kawat
halus. Setelah anak tertarik dengan kegiatan tersebut, dilanjutkan dengan
pemilihan dan kombinasi warna manik-manik yang dironce.
5. Latihan
melipat, latihan ini diawali dengan dua lipatan, empat lipatan dan seterusnya
dengan berbagai kombinasi batas kemampuan anak.
6. Mengelem
dan menempel, pertama-tama yaitu dengan menggunakan telunjuk jari unruk
mengelem dan mengulasnya agar tidak terjadi kecerobohan. Untuk dapat lebih
melekat, taruhlah secarik kertas atau kain diatasnya dan tekan. Apabila anak
mampu mengerjakan dengan baik dan rapi, berilah pujian sebagai tanda
penghargaan jerih payahnya.
7. Menggunting
dan memotong, dapat diawali dengan menggunting bentuk sembarang, kemudian
menggunting dengan cara yang lurus dan dilanjutkan dengan menggunting dengan
garis-garis melengkung.
8. Latihan
menyobek, untuk latihan ini harus
menggunakan dua tangannya, dimulai menyobek menjadi bagian-bagian besar hingga
menjadi bagian yang sekecil-kecilnya. Hasil sobekan kertas tersebut selanjutnya
dapat dipergunakan untuk membuat rumah, pohon, gunung, dan lain-lain dengan
cara menempelkan dikertas yang masih utuh.
9. Jarum
dan benang, untuk kepentingan tersebut dibutuhkan semacam alat bordir yang
mula-mula harus ditusuk-tusukkan. Selanjutnya anak dapat dilatih menggunakan
kain strimin yang kasar atau kain wol yang tebal dan sederhana. Dengan
menggunakan jarus dan benang, anak tunagrahita dapat membuat hiasan dinding,
alas baki, tas dan sebagainya.
Model
permainan lain yang dapat dilakukan untuk pengembangan kemampuan anak
tunagrahita yaitu bermain yang mengandung unsur olahraga. Misalnya berjalan
diatas bangku, berjalan dengan beban dan tanpa beban dikepala melewati titian
garis atau tali dengan posisi lurus, melengkung, dan bulat. Latihan lain yang
menggunakan alat, misalnya menbribel bola, menendang bola, melempar dan
menangkap bola, berlari memindahkan bendera, dan lain-lain.
Khusus
yang sifatnya kelompok, pengembangan aktivitas bermain pada anak tunagrahita
materinya dapat digali dari permainan-permainan tradisional, pendidikan
olahraga, atau kombinasi keduanaya. Misalnya bermain menjala ikan, lempar dan
tangkap bola, memuluk bola disela-sela kaki, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Anak
tunagrahita yaitu anak yang memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian
rendahnya sehingga untuk meniti tugas perkembangannya. Indikasinya dapat
dilihat pada angka tes kecerdasan, seperti IQ 0-25 dikategorikan idiot, IQ
25-50 dikategorikan imbecil, dan IQ 50-75 kategori debil atau moron. Ketunagrahitaan disebabkan
karena faktor endogen dan faktor eksogen. Keterlambatan perkembangan kognitif
pada anak tunagrahita menjadi masalah besar bagi anak tunagrahita ketika meniti
tugas perkembangannya. Maka butuh pengembangan kemampuan bahasa dan bicara dan
membantu penyesuaian sosial anak tunagarahita serta modifikasi tingkalaku agar
mampu mengembangkan intelektualnya.
B.
Saran
Anak tunagrahita memang memiliki
kemampuan yang rendah dibandingkan
dengan anak normal lainnya, maka perlu adanya perhatian khusus terhadap
mereka untuk dilatih, dibimbing, dan diberi kesempatan serta dukungan agar
mereka mampu mengembangkan seluruh potensinya agar dapat mandiri dan memiliki
harga diri dihadapan orang lain disekitarnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Rochyadi,
Endang. 2005. Pengembangan Program
Pembelajaran Individual Bagi Anak Tunagrahita. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Efendi,
Mohammad. 2006. Pengantar Psikopedagogik
Anak Berkelainan. Jakarta: Bumi Aksara.
Delphie,
Bandi. 2006. Pembelajaran Anak
Tunagrahita. Bandung: PT Refika Aditama.
Delphie,
Bandi. 2006. Pembelajaran Anak
Berkebutuhan Khusus. Bandung: PT Refika Aditama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar