Rabu, 20 Agustus 2014

MAKALAH KESEHATAN MENTAL “PERLAKUAN SALAH PADA ANAK (CHILD ABUSE)”



MAKALAH
KESEHATAN MENTAL
 “PERLAKUAN SALAH PADA ANAK (CHILD ABUSE)”
Dosen Pengampu: Padmi Dhyah Yulianti, S.Psi., M.Psi




Disusun Oleh:
Kelompok 12

Dwi Setyawan                        (12110154)
Yulia Kurniawati                    (12110182)
Khasanatul Lidayati               (12110183)



JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
IKIP PGRI SEMARANG
2012/2013






BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar  Belakang
Kesehatan mental tidak pernah dilepaskan dari riwayat perkembangan individu sebelumnya, terutama berkaitan dengan pengasuhan yang dialami semenjak individu tersebut masih kanak-kanak. Riwayat perkembangan baik dalam pengertian individu adalah diasuh dengan pola-pola pengasuhan yang sehat, seperti adanya penerimaan dan cinta dari orang tua, waktu yang cukup untuk bermain dengan anak, memperlakukan anak sesuai dengan usia perkembangannya, serta memberi keterampilan yang berguna untuk membantu diri sendiri maupun bentuk-bentuk keterampilan sosial, merupakan modal individu berkembang menjadi pribadi yang sehat mental.
Sebaliknya, tindakan-tindakan pengasuhan yang salah atau keliru, sering disebut sebagai tindakan abuse, sedikit banyak membuat individu yang mengalaminya berkembang menjadi pribadi yang sulit untuk beradaptasi ataupun melakukan koping terhadap masalah yang dialaminya. Akibatnya, derajat keesehatan mental individu yang bersangkutan menjadi kurang optimal, atau bahkan individu mengalami berbagai gangguan mental baik ringan maupun berat.
Memahami tindakan child abuse yang mungkin terjadi selama proses pengasuhan dalam keluarga diharapkan dapat membantu menciptakan masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan mental yang baik.
Hal-hal tersebut/ child abuse, yang akan menjadi kajian dalam makalah ini. Semoga nantinya dapat memberi pengetahuan yang luas dan memberikan manfaat yang positif.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian child abuse?
2.      Bagaimanakah assesmant terhadap child abuse?
3.      Apasajakah gejala-gejala child abuse?
4.      Bagaimanakah keluarga yang disfungsi itu?


C.    Tujuan Masalah
1.      Mengetahui pengertian child abuse.
2.      Menjelaskan assesment terhadap child abuse.
3.      Mengidentifikasi gejala-gejala child abuse.
4.      Menjelaskan keluarga yang disfungsi.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN CHILD ABUSE (PERLAKUAN SALAH PADA ANAK)

1.      Istilah-istilah child abuse
Istilah child abuse dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai perlakuan yang salah/kejam terhadap anak, yang sering dilakukan oleh orang lain dan umumnya dilakukan oleh orang dewasa.
Kata “abuse” sendiri memiliki banyak arti antara lain: 1.Penyalahgunaa, salah pakai. 2.perlakuan kejam, siksaan. 3.makian. 4.menyalahgunakan. 5.memperlakukan dengan kasar/kejam/keji. 6.memaki-maki, mencaci/caci. 7.menghianati. (Echols & Shadily, 1975).
Kata “child” paling mudah diartikan sebagai “anak”. Demi keluwesan dalam tulisan ini menggunakan “anak” dirangkaikan dengan istilah penyalahgunaan (anak) dan tetap digunakan istilah child bila masih memakai kata abuse karena terasa lebih enak didengar dan tidak aneh karena menggabungkan dua kata dari bahasa yang sama. Selain itu pemahaman apa yang dimaksud dengan anak, yaitu seseorang dianggap masuk dalam kategori anak bila secara hukum belum dinyatakan sebagai dewasa. Biasanya seseorang dianggap dewasa bila telah berusia 17 tahun/ sudah menikah. Usia dibawahnya masih dianggap sebagai anak-anak dan harus mendapatkan perlindungan dan perlakuan semestinya sebagai anak.

2.      Kategori child abuse
Pengertian dari berbagai abuse menurut America  Medican Association (1999) dan Keluarga.Org (2000) adalah sebagai berikut:
a.       Physical abuse (perlakuan salah secara fisik), adalah ketika anak mengalami pukulan, tamparan, gigitan, pembakaran, atau kekerasan fisik lainnya. Biasanya berlangsung dalam waktu yang lama/ tindakan yang dilakukan dengan niat menyakiti fisik anak seperti: menendang, mengigit, menenggelamkan anak dalam air, menyulut tubuh anak dengan rokok, mengikat, tidak memberi makan dan sebagainya.
b.      Sexual abuse (perlakuan salah secara seksual), adalah ketika anak diikut sertakan dalam situasi seksual dengan orang dewasa atau anak yang lebih tua. Anak biasanya tidak dipaksa kedalam situasi seksual, sebaliknya mereka dibujuk, disogok, ditipu seperti: menyentuh atau mencium organ kemaluan anak, menyuruh anaj menyentuh alat vital orang lain, memeksa anak berhubungan seks, menjadikan anak obyek pornografi, menceritakan anak cerita jorok dan sebagainya.
c.       Neglect (diabaikan/dilalaikan), adalah ketika kebutuhan-kebutuhan dasar anak tidak dipenuhi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan makanan bergizi, tempat tinggal yang memadai, pakaian, kebersihan, dukungan emosional, cinta dan afeksi, pendidikan, keamanan, serta medis.
d.      Emotional abuse ( perlakuan salah secara emosi), adalah ketika anak secara teratur diancam, diteriaki, dipermalukan, diabaikan, disalahkan atau salah penanganan seperti: membuat anak menjadi lucu, memanggil namanya, dan selalu dicari-cari kesalahaannya dan sebagainya sehingga membuat anaak menjadi tidak berharga.


B.     ASSESMENT TERHADAP CHILD ABUSE

Assesment merupakan proses dalam melakukan diagnosis yang hakikatnya adalah melakukan identifikasi terhadap gambaran-gambaran yang berbeda dari setiap kasus individual, seperti misalnya fungsi tingkah laku dan emosional anak-anak yang tampak dan fungsi kognitif dan perseptual motor mereka. Assesment juga meliputi pengukuran-pengukuran fisik seperti aktivas elektris otak (Verhulst & Koot, 1992).
Selanjutnya, Lindsay & Powell 1989, menyebutkan tiga kegunanan utama assesment yaitu:
1.      Diagnosis – menentukan  natur masalah anak
2.      Desain – memperoleh informasi yang relevan untuk treatmen
3.      Evaluasi – memperoleh informasi untuk mengevaluasi evektivitas treatmen yang diberikan
Assesment kepada anak korban abuse berbeda dengan orang dewasa karene kondisinya masih sebagai anak, perbedaan tersebut menutut Lindsay & Powell, 1989 yaitu:
1.      Harus di-asses dalam perspektif perkembanagn
2.      Anak jarang mencari bantuan untuk diri mereka sendiri, problem diketahui oleh ortu, guru atau orang sekitarnya karena itu:
·         Assesor harus pandai-pandai mendapatkan kepercayaan dari anak
·         Orang dewasa perlu dilibatkan dalam implementasi program terapi
·         Keretbatasan bahasa
·         Assesor anak harus tahu tentang berbagai masalah dan memiliki pengetahuan tentang masalah yang akan diungkapkan

Berbagai macam pendekatan assesment menurut Verhulst & Koot 1992, yaitu:
1.      Pendekatan psikodinamik
Pendekatan ini biasanya tidak terstandar, prosedurnya kurang memiliki definisi yang operasional dan makna simbolisnya tinggi.
2.      Pendekatan behavioral
Pendekatan ini berdasarkan pada observasi langsung pada tingkah laku.
3.      Pendekatan tradisi medis
Pendekatan ini dengan menggunkan teknik wawancara klinis yang didasarkan pada pengalaman dan keahlian klinikus dalam menjalankan suatu diagnosis yang akurat.
4.      Pendekatan psikometrik
Pendekatan yang berasal dari usaha-usaha dalam psikologi untuk mengukur sifat-sifat psikologis dengan menggunakan tes-tes yang terstandar dan analistik statistik.
Metode-metode dalam assesment yaitu:
1.      Metode observasi
adalah mengumpulkan data melalui pengamaatan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam observasi:
a.       Tingkah laku yang ditampakkan, meliputi: mimik muka (tunduk, tatapan mata, gerak-gerik wajah), bahasa tubuh (posisi, tangan, kaki, gerak-gerik tubuh), suara ( intonasi, tekanan, volume, kecepatan).
b.      Latar belakang tingkah laku, meliputi: tempat (rumah, sekolah, pasar, tempat duduk), waktu (pagi, siamg, sore, malam), oramg lain ( ada banyak/sedikit, sendirian).
c.       Sekuen tingkah laku, adalah mengamati tingkah laku secara keseluruhan dan kesatuan dari sebelum tingkah laku itu muncul, selama tingkah laku yang terjadi, dan setelah tingkah laku.
2.      Metode wawancara
adalah kegiatan tanya jawab dengan seseorang mengenai suatu hal/masalah.
Menurut Bourg, dkk.1999 ada beberapa tahap dalam wawancara yaitu:
a.       Tahap awal
Pada tahap ini wawancara bertujuan untuk mrmbangun rapport (membina hubungan yang baik dan dekat) dengan klien, melakukan assesment tahap perkembangan anak dan pemahaman terhadap tugas-tugas selanjutnya.
b.      Tahap menanyakan abuse yang dialami
Pada tahap ini dipusatkan pada pengumpulan informasi-informasi sekitar abuse yang dialami. Seperti perlunya mengecek faktor-faktor resiko yang mungkin terjadi, kesensitifan terhadap emosi anak.
c.       Tahap akhir
Pada tahap ini pewawancara perlu mengomentari kerjasama yang telah diberikan sambil tetap mendorong anak untuk bersikap kooperatif  pada pertemuan selanjutnya.

Syarat-syarat pewawancara yang baik adalah:
a.       Memahami tahap-tahap perkembangan emosi, kognitif, dan bahasa anak
b.      Memahaami informasi mengenai dinamika child abuse dan akibatnya terhadap anak
c.       Terlatih menggunakan teknik assesing menggunakan pertanyaan yang tidak menggiring dan alat-alaat wawancara

Beberapa syarat supaya wawancara berjalan optimal adalah:
a.       Ruang didesain seperti ruang tamu atau bermain bagi klien anak dengan hiasan-hiasan anak dan peralatan yang sesuai
b.      Cahaya, suhu, bau yang tidak mengganggu dan menyenangkan
c.       Tidak ada konteks-konteks abuse dan orang dewasa yang mungkin memengaruhi anak
3.      Metode angket
Metode angket untuk kasus-kasus abuse harus berhati-hati, karena bahasa yang digunakan dalaam angket tidak selalu dipahami sama oleh pembacaanya, apalagi bila digunakan pada anak-anak.
4.      Metode tes
Tes dibedakan menjadi dua, yaitu tes proyektif dan tes nonproyektif. Tes proyektif adalah tes yang disusun berdasarkan penggunaan mekanisme proyeksi. Materi tes terdiri atas obyek yang belum atau yang kurang jelas strukturnya. Sementara tes nonproyektif sama sekali tidak mempertimbangkan adanya mekanisme proyeksi tersebut.
Pada kasus abuse, tes proyeksi biasanya sangat membantu, terutama bila klien mengalami kesulitan untuk menceritakan peristiwa abuse yang dialami. Adapu tes nonproyeksi digunakan untuk mendapatkan data-data yang mungkin baik langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan abuse, seperti misalnya tes intelegency.

C. GEJALA-GEJALA ABUSE
APA Public  Interest Initiatives  (2002) dan Hwang (1999) menyebutkan gejala-gejala atau tanda-tanda terjadinya abuse, antara lain:
·         Gambaran diri yang buruk
·         Sexual acting out
·         Tingkah laku agresif, menggagu, dan kadang-kadang ilegal
·         Marah dan gusar, atau perasaan-perasaan kesedihan atau gejala-gejala lain lain yang merupakan tanda depresi
·         Tingkah laku merusak diri atau menyalahgunakan  dari sendiri, pikiran-pikiran bunuh diri.
·         Tingkah laku pasif atau menarik diri
·         Kecemasan atau ketakutan, atau terkenang pengalaman masa lalu dan mimpi buruk.
·         Masalah-masalah atau kegagalan-kegagalan sekolah.
·         Penyalahgunaan obat dan alkohol.
·         Terluka/terpotong dan memar-memar.
·         Patah tulang atau luka-luka dalam.
·         Terbakar
·         Kelaparan dan kehausan yang menetap.
·         Kehilangan minat pada sekitarnya.
·         Kurang pengawasan
·         Luka memar, atau pendarahan di kelamin.
·         Lebih banyak pengetahuan mengenai seks dibandingkan dengan anak-anak seusianya yang normal.
·         Mengalami masalah dalam belajar.
·         Takut pada orang atau tempat tertentu.
Anak biasanya  tidak mengatakan kepada orang tua atau orang dewasa lainnya mengenai  sexsual abuse yang mereka alami ( American Academiy of  Pediatrics , 2000; Hwang, 1998) . Oleh karena itu orang sekitar harus menyadari perubahan tingkah laku pada anak seperti berikut :
o   Takut pada tempat atau orang tertentu
o   Reaksi-reaksi yang tidak biasanya terhadap pertanyaan apakah mereka telah disentuh oleh seseorang.
o   Membuat gambar-gambar yang  menujukkan tingkah laku seksual.
o   Perubahan tingkah laku seperti, mengompol kembali atau prestasi yang rendah di sekolah.
o   Kesadaran yang berlebihan  terhadap tingkah laku dan kata-kata seksual.
o   Tanda-tanda fisik berkaitan dengan sexsual abuse, seperti penyakit menular sexsual, memar, atau lecet.
o   Mencuba mengajak anak-anak lain untuk memperlihatkan tingkah laku sexsual.

D. KELUARGA DISFUNGSI                      
Abuse sering terjadi di dalam keluarga, hal ini terjadi karena keluarga tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Hubungan antar keluarga tidak harmonis atau ikatan emosi antar anggota keluarga tidak berjalan dengan baik. Ciri-ciri keluarga yang child abuse adalah sebagai berikut:
a)      Kekerasan lain di dalam rumah, seperti abuse terhadap pasangan atau melakukan abuse terhadap sibling.
b)      Orang tua atau pengasuh yang menggunakan alkohol atau penyalahgunaan obat-obatan lainnya.
c)      Orang tua yang depresi atau mengalami gangguan mental.
d)     Menjadi orang tua tiri.
e)      Isolasi sosial dari pengasuh ( orang merasa dia tidak mendapatkan dukungan)
f)       Tekanan atau stres keluarga berkaitan dengan kehilangan pekerjaan, masalah keuangan, penyakit, kematian, perpisahan, atau perceraian.
g)      Anggota keluarga yang dewasa ada yang mengalami abuse ketikaa mereka masih anak-anak.
Berdasarkan berbagai penelitian, paget, Philip & Abramczyk (1993) menyimpulkan bahwa abuse dan neglect yang terjadi pada anak beresiko tinggi pada keluarga-keluarga berikut:
*      Keluarga yang memiliki jumlah anak banyak.
*      Ibu dengan riwayat alkoholisme promiskuitas seksual.
*      Kemiskinan
*      Pendidikan ibu
*      Usia ibu yang masih remaja ketika memiliki anak pertama.
*      Status perkawinan ibu.
*      Kehamilan yang tidak direncanakan.
*      Sejarah keluarga dengan penyalahgunaan alkohol.
*      Harapan orangtua terhadap perkembangan anak terlalu rendah atau sebaliknya terlalu tinggi.
*      Ibu yang memiliki riwayat kekerasan, harga diri rendah, dan isolasi.
*      Ibu memiliki simtom depresi.
*      Ibu kesepian, kurang dalam partisipasi sosial, kurang terlibat dalam jaringan bantuan informal.
*      Ketidakhadiran ayah.
*      Kurangnya dukungan emosional untuk ibu.
*      Jauh dari anggota keluarga dan mengalami kebingungan berpikir.
Mrazek & Bentovim ( 1981) menyebutkan bahwa keluarga yang melakukan abuse terhadap anak mereka, khususnya dalam hal seksual (incest), biasanya bukan tindakan yang sifatnya personal saja (ayah terhadap anak perempuan saja misalnya) tapi, tindakan abuse itu sendiri terjadi karena adanya sistem dalam keluarga yang memungkinkan abuse terus berlanjut dan berulang-ulang. Adapun keluarga yang berpeluang melakukan abuse biasanya dicirikan dengan:
Ø  Mitos-mitos dalam keluarga, seperti misalnya, anak tersebut bukan anak kandung atau selagi kecil dikerasi supaya setelah besar nanti.
Ø  Miskin dalam keterampilan pengasuhan. Ini biasanya terjadi karena kedua orangtua juga ketika masih kecil mendapatkan pengasuhan yang misikin dan mereka tidak memiliki kesempatan untuk belajar dan berlatih pola pengasuhan yang memadahi.
Ø  Reladi emosi dalam keluarga yang dangkal. Ikatan emos antar anggota keluarga yang lemah, masing-masing anggota keluarga tidak mempedulikan satu sama yang lain.
Ø  Pengalaman orangtua yang kabur atau kacau ketika mereka kanak-kanak.


E.  PENANGANAN ATAU TREATMEN CHILD ABUSE
1.      Akibat Jangka Panjang Terhadap Korban Abuse
Selain gejala-gejala jangka pendek seperti yang telah disebutkan di atas, korban abuse akan menderita akibat perlakuan abuse jauh sampai mereka dewasa nanti bila sejak awal tidak ditangani dengan baik adapu gejala-gejala tersebut antara lain:
o   Lebih mudah menjadi korban abuser (pelaku abuse terhadap anak atau orang lain).
o   Lebih mudah menjadi korban abuse di kemudian hari.
o   Lebih mudah terlibat dalam aktifitas kekerasan kriminal di kemudian hari.
o   Melakukan abuse terhadap keluarga mereka sendiri.
o   Mengalami kesulitan dalam belajar.
o   Memiliki kesulitan-kesulitan emosional.
o   Mencoba bunuh diri.
o   Menggunakan alkohol atau obat-obatan lainnya.
Page, Philip & Abramczyk (1993) menambahkan, akibat jangka  panjang anak yang mengalami abuse antara lain:
o   Kenakalan remaja
o   Meninggal
o   Menjadi kriminal
o   Alkoholik
o   Mengalami gangguan jiwa sebelum berumur 35 tahun
Rini (2001) menyebutkan beberapa masalah yang timbul pada anak korban abuse di berbagai segi kehidupan, seperti:
1.      Masalah relasional, meliputi:
o   Kesulitan untuk menjalin hubungsn maupun persahabatan
o   Merasa kesepian
o   Kesulitan dalam membentuk hubungan yang harmonis
o   Sulit mempercayai diri sendiri dan orang lain
o   Menjalin hubungan yang tidak sehat, misalnya terlalu tergantung atau terlalu mandiri
o   Sulit membagai perhatian antara mengurus diri sendiri dengan mengurus orang lain
o   Mudah curiga dan terlalu berhati-hati dengan orang lain
o   Prilakunya tidak sepontan
o   Kesulitan menyesuaikan diri
o   Merasa takut menjalin hubungan fisik dengan orang lain
o   Lebih suka menyindiri daripada bermain dengan teman-temannya
o   Suka memusuhi orang lain dan dimusuhi
o   Sulit membuat komitment
o   Terlalu bertanggung jawab atau justru lari dari tanggungjawabnya
2.      Masalah emosional meliputi:
·         Merasa bersalah, malu
·         Menyimpan perasaan dendam
·         Depresi
·         Merasa takut tertular gangguan mental yang dialami orangtua
·         Merasa takut masalah dirinya diketahui orang lain
·         Tidak mampu mengekspresikan kemarahan secara konstruktif atau positif
·         Merasa bingung dengan identitasnya
·         Tidak mampu menghadapi tuntutan kehidupan dengan segala masalahnya

3.      Masalah kognisi, meliputi:
·         Punya persepsi yang negatif terhadap kehidupan
·         Timbul pikiran negatif tentang diri sendiri yang diikuti oleh tindakan yang cenderung merugikan diri sendiri
·         Memberikan penilaian yang rendah terhadap kemampuan atau prestasi diri sendiri
·         Sulit berkonsentrasi dan menurunnya prestasi
·         Memilik citra diri yang negatif
4.      Masalah perilaku meliputi:
·         Muncul prilaku berbohong, mencuri, bolos sekolah
·         Perbuatan kriminal dan kenakalan
·         Tidak mengurus diri sendiri dengan baik
·         Menujukkan sikap dan prilaku yang tidak wajar dan dibuat-buat untuk mencari perhatian
·         Muncul keluhan sulit tidur
·         Kecanduan obat bius, minumsm keras dan sebagainya
·         Muncul prilaku makan yang tidak normal, seperti aneroxia atau bulimia
       



2.      Penanganan atau Treatment Terhadap Child Abuse

Melihat efek jangka panjang terhadap korban abuse yang tidak hanya mengenali diri korban tetapi juga berpotensi untuk membahayakan lingkungan disekitarnya, maka mengupayakan adanya treatment bagi korban abuse dan lingkungannya merupakan suatu keharusan. Demikian pula, fokus treatment bukan saja pada korban abuse (anak) tapi juga melibatkan orang tua dan sekitarnya, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menangani masalah abuse ini. Ada berbagai macam treatment yang diperlukan antara lain:
§  Medis, apabila anak mengalami luka-luka fisik
§  Untuk menghilangkan trauma akibat abuse, korban perlu mendapatkan penanganan psikologis melalui konseling dan psikoterapi.
§  Orang tua dan keluarga juga perlu dilibatkan dengan memberikan pelatihan yang dibutuhkan, memberikan keterampilan baru agar lebih mampu untuk melakukan coping
§  Kadang berdasarkan situasi dan kondisi, anak perlu dipisahkan dari keluarga dan kemudian baru mendapatkan treatment yang memadahi
3.      Pencegahan atau Prevensi Abuse
Sebelum tindakan abuse terjadi, perlu dicari penyebab terjadinya abuse dari orang dewasa terhadap anak-anak. Mengetahui penyebab terjadinya abuse dapat menjadi informasi yang berguna untuk menghindarkan anak dari tindakan abuse. Ada beberapa penyebab terjadinya abuse yang dilakukan orang dewasa terhadap anak-anak:
§  Kehilangan kontrol ketika mereka menghadapi masalah mereka masing-masing
§  Tidak tahu cara mendisiplin anak
§  Pernah menjadi korban abuse oleh orang tua mereka atau pasangan
§  Mengalami kesulitan finansial
§  Kehilangan kendali ketika menggunakan alkohol dan obat-obatan lainnya
Berdasarkan sebab-sebab diatas orang dewasa bisa diajarkan atau dilatih keterampilan bagaimana mengendalikan emosi (kemarahan), diberi pengetahuan mengenai perkembangan anak, keterampilan mengenai cara pengasuhan dan pendisiplinan yang sehat, menjalani konseling dan psikoterapi untuk mengeliminir dampak abuse yang mereka alami sebelumnya dan sekaligus menyembuhkan luka batin dan lain-lain, sesuai dengan penyebabnya.
Khusus terhadap anak-anak yang rawan terhadap seksual abuse, tindakan preventif yang perlu dilakukan supaya mereka dapat menghindari kejadian tersebut adalah:
§  Mengajari anak mengenal bagian-bagian tubuh yang sifatnya pribadi
§  Mendengarkan dengan baik ketika anak mencoba untuk mengatakan sesuatu, khususnya jika itu terlihat berat atau sulit baginya untuk mengatakannya
§  Memberi anak cukup waktu dan perhatian
§  Mengetahui dan mengawasi dengan siapa anak bermain
§  Membicarakan mengenai abuse terhadap anak
§  Mengatakan kepada orang lain yang memiliki otoritas bila ada dugaan anak mengalami abuse
Melakukan perubahan-perubahan terhadap lingkungan juga dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya abuse dan bahkan mengubah lingkungan dapat menjadi katalisator terjadi pemulihan bagi korban abuse. Perubahan tersebut misalnya meliputi:
§  Menjauhkan anak dari media yang berpotensi menimbulkan abuse, seperti mematikan progam-progam televisi yang berisi adegan kekerasan
§  Memberikan kegiatan-kegiatan yang positif dan dilakukan secara bersama-sama (banyak orang)
§  Membentuk kelompok-kelompok pendukung dan bentuk-bentuk lain pemberdayaan masyarakat.


















BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
1.      Child abuse adalah sikap/ tindakan-tindakan perlakuan salah yang dilakukan kepada anak.
2.      Assesment merupakan proses dalam melakukan diagnosis yang hakikatnya adalah melakukan identifikasi terhadap gambaran-gambaran yang berbeda dari setiap kasus individual, seperti misalnya fungsi tingkah laku dan emosional anak-anak yang tampak dan fungsi kognitif dan perseptual motor mereka.
3.      Abuse sering terjadi di dalam keluarga, hal ini terjadi karena keluarga tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Hubungan antar keluarga tidak harmonis atau ikatan emosi antar anggota keluarga tidak berjalan dengan baik.

B.     Saran
Jika ingin tindakan perlakuan salah/ child abuse tidak terjadi pada anak-anak/dalam keluarga, sebaiknya kita harus menjaga hubungan keharmonisan antar keluarga.
















                                                               DAFTAR PUSTAKA


Siswanto, 2006. Kesehatan mental : konsep, cakupan, dan perkembangannya. Yogyakarta : Andi.







 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar