MAKALAH
KESEHATAN MENTAL
“PERLAKUAN
SALAH PADA ANAK (CHILD ABUSE)”
Dosen
Pengampu: Padmi Dhyah Yulianti, S.Psi., M.Psi

Disusun
Oleh:
Kelompok
12
Dwi
Setyawan (12110154)
Yulia
Kurniawati (12110182)
Khasanatul
Lidayati (12110183)
JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN
DAN BIMBINGAN
FAKULTAS
ILMU PENDIDIKAN
IKIP
PGRI SEMARANG
2012/2013
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kesehatan mental tidak
pernah dilepaskan dari riwayat perkembangan individu sebelumnya, terutama
berkaitan dengan pengasuhan yang dialami semenjak individu tersebut masih
kanak-kanak. Riwayat perkembangan baik dalam pengertian individu adalah diasuh
dengan pola-pola pengasuhan yang sehat, seperti adanya penerimaan dan cinta
dari orang tua, waktu yang cukup untuk bermain dengan anak, memperlakukan anak
sesuai dengan usia perkembangannya, serta memberi keterampilan yang berguna
untuk membantu diri sendiri maupun bentuk-bentuk keterampilan sosial, merupakan
modal individu berkembang menjadi pribadi yang sehat mental.
Sebaliknya,
tindakan-tindakan pengasuhan yang salah atau keliru, sering disebut sebagai
tindakan abuse, sedikit banyak membuat individu yang mengalaminya berkembang
menjadi pribadi yang sulit untuk beradaptasi ataupun melakukan koping terhadap
masalah yang dialaminya. Akibatnya, derajat keesehatan mental individu yang
bersangkutan menjadi kurang optimal, atau bahkan individu mengalami berbagai
gangguan mental baik ringan maupun berat.
Memahami tindakan child
abuse yang mungkin terjadi selama proses pengasuhan dalam keluarga diharapkan
dapat membantu menciptakan masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan mental
yang baik.
Hal-hal tersebut/ child
abuse, yang akan menjadi kajian dalam makalah ini. Semoga nantinya dapat
memberi pengetahuan yang luas dan memberikan manfaat yang positif.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah pengertian child
abuse?
2.
Bagaimanakah assesmant
terhadap child abuse?
3.
Apasajakah
gejala-gejala child abuse?
4.
Bagaimanakah keluarga
yang disfungsi itu?
C.
Tujuan
Masalah
1.
Mengetahui pengertian
child abuse.
2.
Menjelaskan assesment
terhadap child abuse.
3.
Mengidentifikasi gejala-gejala
child abuse.
4.
Menjelaskan keluarga
yang disfungsi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
CHILD ABUSE (PERLAKUAN SALAH PADA ANAK)
1.
Istilah-istilah child
abuse
Istilah
child abuse dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai perlakuan yang
salah/kejam terhadap anak, yang sering dilakukan oleh orang lain dan umumnya
dilakukan oleh orang dewasa.
Kata
“abuse” sendiri memiliki banyak arti antara lain: 1.Penyalahgunaa, salah pakai.
2.perlakuan kejam, siksaan. 3.makian. 4.menyalahgunakan. 5.memperlakukan dengan
kasar/kejam/keji. 6.memaki-maki, mencaci/caci. 7.menghianati. (Echols &
Shadily, 1975).
Kata
“child” paling mudah diartikan sebagai “anak”. Demi keluwesan dalam tulisan ini
menggunakan “anak” dirangkaikan dengan istilah penyalahgunaan (anak) dan tetap
digunakan istilah child bila masih memakai kata abuse karena terasa lebih enak
didengar dan tidak aneh karena menggabungkan dua kata dari bahasa yang sama.
Selain itu pemahaman apa yang dimaksud dengan anak, yaitu seseorang dianggap
masuk dalam kategori anak bila secara hukum belum dinyatakan sebagai dewasa.
Biasanya seseorang dianggap dewasa bila telah berusia 17 tahun/ sudah menikah.
Usia dibawahnya masih dianggap sebagai anak-anak dan harus mendapatkan
perlindungan dan perlakuan semestinya sebagai anak.
2.
Kategori child abuse
Pengertian dari
berbagai abuse menurut America Medican
Association (1999) dan Keluarga.Org (2000) adalah sebagai berikut:
a.
Physical abuse
(perlakuan salah secara fisik), adalah ketika anak mengalami pukulan, tamparan,
gigitan, pembakaran, atau kekerasan fisik lainnya. Biasanya berlangsung dalam
waktu yang lama/ tindakan yang dilakukan dengan niat menyakiti fisik anak
seperti: menendang, mengigit, menenggelamkan anak dalam air, menyulut tubuh
anak dengan rokok, mengikat, tidak memberi makan dan sebagainya.
b.
Sexual abuse (perlakuan
salah secara seksual), adalah ketika anak diikut sertakan dalam situasi seksual
dengan orang dewasa atau anak yang lebih tua. Anak biasanya tidak dipaksa
kedalam situasi seksual, sebaliknya mereka dibujuk, disogok, ditipu seperti:
menyentuh atau mencium organ kemaluan anak, menyuruh anaj menyentuh alat vital
orang lain, memeksa anak berhubungan seks, menjadikan anak obyek pornografi,
menceritakan anak cerita jorok dan sebagainya.
c.
Neglect
(diabaikan/dilalaikan), adalah ketika kebutuhan-kebutuhan dasar anak tidak
dipenuhi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan makanan bergizi,
tempat tinggal yang memadai, pakaian, kebersihan, dukungan emosional, cinta dan
afeksi, pendidikan, keamanan, serta medis.
d.
Emotional abuse (
perlakuan salah secara emosi), adalah ketika anak secara teratur diancam,
diteriaki, dipermalukan, diabaikan, disalahkan atau salah penanganan seperti:
membuat anak menjadi lucu, memanggil namanya, dan selalu dicari-cari
kesalahaannya dan sebagainya sehingga membuat anaak menjadi tidak berharga.
B.
ASSESMENT
TERHADAP CHILD ABUSE
Assesment merupakan
proses dalam melakukan diagnosis yang hakikatnya adalah melakukan identifikasi
terhadap gambaran-gambaran yang berbeda dari setiap kasus individual, seperti
misalnya fungsi tingkah laku dan emosional anak-anak yang tampak dan fungsi
kognitif dan perseptual motor mereka. Assesment juga meliputi
pengukuran-pengukuran fisik seperti aktivas elektris otak (Verhulst & Koot,
1992).
Selanjutnya, Lindsay
& Powell 1989, menyebutkan tiga kegunanan utama assesment yaitu:
1.
Diagnosis – menentukan natur masalah anak
2.
Desain – memperoleh
informasi yang relevan untuk treatmen
3.
Evaluasi – memperoleh
informasi untuk mengevaluasi evektivitas treatmen yang diberikan
Assesment kepada anak
korban abuse berbeda dengan orang dewasa karene kondisinya masih sebagai anak,
perbedaan tersebut menutut Lindsay & Powell, 1989 yaitu:
1.
Harus di-asses dalam
perspektif perkembanagn
2.
Anak jarang mencari
bantuan untuk diri mereka sendiri, problem diketahui oleh ortu, guru atau orang
sekitarnya karena itu:
·
Assesor harus
pandai-pandai mendapatkan kepercayaan dari anak
·
Orang dewasa perlu
dilibatkan dalam implementasi program terapi
·
Keretbatasan bahasa
·
Assesor anak harus tahu
tentang berbagai masalah dan memiliki pengetahuan tentang masalah yang akan
diungkapkan
Berbagai macam pendekatan assesment
menurut Verhulst & Koot 1992, yaitu:
1.
Pendekatan psikodinamik
Pendekatan
ini biasanya tidak terstandar, prosedurnya kurang memiliki definisi yang
operasional dan makna simbolisnya tinggi.
2.
Pendekatan behavioral
Pendekatan
ini berdasarkan pada observasi langsung pada tingkah laku.
3.
Pendekatan tradisi
medis
Pendekatan
ini dengan menggunkan teknik wawancara klinis yang didasarkan pada pengalaman
dan keahlian klinikus dalam menjalankan suatu diagnosis yang akurat.
4.
Pendekatan psikometrik
Pendekatan
yang berasal dari usaha-usaha dalam psikologi untuk mengukur sifat-sifat
psikologis dengan menggunakan tes-tes yang terstandar dan analistik statistik.
Metode-metode dalam assesment yaitu:
1. Metode
observasi
adalah mengumpulkan data melalui
pengamaatan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
observasi:
a.
Tingkah laku yang
ditampakkan, meliputi: mimik muka (tunduk, tatapan mata, gerak-gerik wajah),
bahasa tubuh (posisi, tangan, kaki, gerak-gerik tubuh), suara ( intonasi,
tekanan, volume, kecepatan).
b.
Latar belakang tingkah
laku, meliputi: tempat (rumah, sekolah, pasar, tempat duduk), waktu (pagi, siamg,
sore, malam), oramg lain ( ada banyak/sedikit, sendirian).
c.
Sekuen tingkah laku,
adalah mengamati tingkah laku secara keseluruhan dan kesatuan dari sebelum
tingkah laku itu muncul, selama tingkah laku yang terjadi, dan setelah tingkah
laku.
2. Metode
wawancara
adalah kegiatan tanya jawab dengan
seseorang mengenai suatu hal/masalah.
Menurut Bourg, dkk.1999 ada beberapa
tahap dalam wawancara yaitu:
a.
Tahap awal
Pada
tahap ini wawancara bertujuan untuk mrmbangun rapport (membina hubungan yang
baik dan dekat) dengan klien, melakukan assesment tahap perkembangan anak dan
pemahaman terhadap tugas-tugas selanjutnya.
b.
Tahap menanyakan abuse
yang dialami
Pada
tahap ini dipusatkan pada pengumpulan informasi-informasi sekitar abuse yang
dialami. Seperti perlunya mengecek faktor-faktor resiko yang mungkin terjadi,
kesensitifan terhadap emosi anak.
c.
Tahap akhir
Pada
tahap ini pewawancara perlu mengomentari kerjasama yang telah diberikan sambil
tetap mendorong anak untuk bersikap kooperatif
pada pertemuan selanjutnya.
Syarat-syarat
pewawancara yang baik adalah:
a.
Memahami tahap-tahap
perkembangan emosi, kognitif, dan bahasa anak
b.
Memahaami informasi
mengenai dinamika child abuse dan akibatnya terhadap anak
c.
Terlatih menggunakan
teknik assesing menggunakan pertanyaan yang tidak menggiring dan alat-alaat
wawancara
Beberapa
syarat supaya wawancara berjalan optimal adalah:
a.
Ruang didesain seperti
ruang tamu atau bermain bagi klien anak dengan hiasan-hiasan anak dan peralatan
yang sesuai
b.
Cahaya, suhu, bau yang
tidak mengganggu dan menyenangkan
c.
Tidak ada
konteks-konteks abuse dan orang dewasa yang mungkin memengaruhi anak
3. Metode
angket
Metode angket untuk kasus-kasus abuse
harus berhati-hati, karena bahasa yang digunakan dalaam angket tidak selalu
dipahami sama oleh pembacaanya, apalagi bila digunakan pada anak-anak.
4. Metode
tes
Tes dibedakan menjadi dua, yaitu tes proyektif
dan tes nonproyektif. Tes proyektif adalah tes yang disusun berdasarkan
penggunaan mekanisme proyeksi. Materi tes terdiri atas obyek yang belum atau
yang kurang jelas strukturnya. Sementara tes nonproyektif sama sekali tidak
mempertimbangkan adanya mekanisme proyeksi tersebut.
Pada kasus abuse, tes proyeksi biasanya
sangat membantu, terutama bila klien mengalami kesulitan untuk menceritakan
peristiwa abuse yang dialami. Adapu tes nonproyeksi digunakan untuk mendapatkan
data-data yang mungkin baik langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan
abuse, seperti misalnya tes intelegency.
C.
GEJALA-GEJALA ABUSE
APA Public Interest Initiatives (2002) dan Hwang (1999) menyebutkan
gejala-gejala atau tanda-tanda terjadinya abuse, antara lain:
·
Gambaran diri yang
buruk
·
Sexual acting out
·
Tingkah laku agresif,
menggagu, dan kadang-kadang ilegal
·
Marah dan gusar, atau
perasaan-perasaan kesedihan atau gejala-gejala lain lain yang merupakan tanda
depresi
·
Tingkah laku merusak
diri atau menyalahgunakan dari sendiri,
pikiran-pikiran bunuh diri.
·
Tingkah laku pasif atau
menarik diri
·
Kecemasan atau
ketakutan, atau terkenang pengalaman masa lalu dan mimpi buruk.
·
Masalah-masalah atau
kegagalan-kegagalan sekolah.
·
Penyalahgunaan obat dan
alkohol.
·
Terluka/terpotong dan
memar-memar.
·
Patah tulang atau luka-luka
dalam.
·
Terbakar
·
Kelaparan dan kehausan
yang menetap.
·
Kehilangan minat pada
sekitarnya.
·
Kurang pengawasan
·
Luka memar, atau
pendarahan di kelamin.
·
Lebih banyak
pengetahuan mengenai seks dibandingkan dengan anak-anak seusianya yang normal.
·
Mengalami masalah dalam
belajar.
·
Takut pada orang atau
tempat tertentu.
Anak
biasanya tidak mengatakan kepada orang
tua atau orang dewasa lainnya mengenai sexsual abuse yang mereka alami ( American
Academiy of Pediatrics , 2000; Hwang,
1998) . Oleh karena itu orang sekitar harus menyadari perubahan tingkah laku
pada anak seperti berikut :
o Takut
pada tempat atau orang tertentu
o Reaksi-reaksi
yang tidak biasanya terhadap pertanyaan apakah mereka telah disentuh oleh
seseorang.
o Membuat
gambar-gambar yang menujukkan tingkah
laku seksual.
o Perubahan
tingkah laku seperti, mengompol kembali atau prestasi yang rendah di sekolah.
o Kesadaran
yang berlebihan terhadap tingkah laku
dan kata-kata seksual.
o Tanda-tanda
fisik berkaitan dengan sexsual abuse, seperti penyakit menular sexsual, memar,
atau lecet.
o Mencuba
mengajak anak-anak lain untuk memperlihatkan tingkah laku sexsual.
D.
KELUARGA DISFUNGSI
Abuse sering terjadi di
dalam keluarga, hal ini terjadi karena keluarga tidak bisa berfungsi
sebagaimana mestinya. Hubungan antar keluarga tidak harmonis atau ikatan emosi
antar anggota keluarga tidak berjalan dengan baik. Ciri-ciri keluarga yang
child abuse adalah sebagai berikut:
a) Kekerasan
lain di dalam rumah, seperti abuse terhadap pasangan atau melakukan abuse terhadap
sibling.
b) Orang
tua atau pengasuh yang menggunakan alkohol atau penyalahgunaan obat-obatan
lainnya.
c) Orang
tua yang depresi atau mengalami gangguan mental.
d) Menjadi
orang tua tiri.
e) Isolasi
sosial dari pengasuh ( orang merasa dia tidak mendapatkan dukungan)
f) Tekanan
atau stres keluarga berkaitan dengan kehilangan pekerjaan, masalah keuangan,
penyakit, kematian, perpisahan, atau perceraian.
g) Anggota
keluarga yang dewasa ada yang mengalami abuse ketikaa mereka masih anak-anak.
Berdasarkan berbagai penelitian, paget,
Philip & Abramczyk (1993) menyimpulkan bahwa abuse dan neglect yang
terjadi pada anak beresiko tinggi pada keluarga-keluarga berikut:
Mrazek & Bentovim ( 1981)
menyebutkan bahwa keluarga yang melakukan abuse terhadap anak mereka, khususnya
dalam hal seksual (incest), biasanya bukan tindakan yang sifatnya personal saja
(ayah terhadap anak perempuan saja misalnya) tapi, tindakan abuse itu sendiri terjadi
karena adanya sistem dalam keluarga yang memungkinkan abuse terus berlanjut dan
berulang-ulang. Adapun keluarga yang berpeluang melakukan abuse biasanya
dicirikan dengan:
Ø Mitos-mitos dalam
keluarga, seperti misalnya, anak tersebut bukan
anak kandung atau selagi kecil dikerasi supaya setelah besar nanti.
Ø Miskin dalam
keterampilan pengasuhan. Ini biasanya terjadi
karena kedua orangtua juga ketika masih kecil mendapatkan pengasuhan yang
misikin dan mereka tidak memiliki kesempatan untuk belajar dan berlatih pola
pengasuhan yang memadahi.
Ø Reladi emosi dalam
keluarga yang dangkal. Ikatan emos antar
anggota keluarga yang lemah, masing-masing anggota keluarga tidak mempedulikan
satu sama yang lain.
Ø Pengalaman orangtua
yang kabur atau kacau ketika mereka kanak-kanak.
E. PENANGANAN ATAU TREATMEN CHILD ABUSE
1.
Akibat Jangka Panjang
Terhadap Korban Abuse
Selain gejala-gejala jangka pendek
seperti yang telah disebutkan di atas, korban abuse akan menderita akibat
perlakuan abuse jauh sampai mereka dewasa nanti bila sejak awal tidak ditangani
dengan baik adapu gejala-gejala tersebut antara lain:
o
Lebih mudah menjadi
korban abuser (pelaku abuse terhadap anak atau orang lain).
o
Lebih mudah menjadi
korban abuse di kemudian hari.
o
Lebih mudah terlibat
dalam aktifitas kekerasan kriminal di kemudian hari.
o
Melakukan abuse
terhadap keluarga mereka sendiri.
o
Mengalami kesulitan
dalam belajar.
o
Memiliki
kesulitan-kesulitan emosional.
o
Mencoba bunuh diri.
o
Menggunakan alkohol
atau obat-obatan lainnya.
Page, Philip & Abramczyk (1993)
menambahkan, akibat jangka panjang anak
yang mengalami abuse antara lain:
o
Kenakalan remaja
o
Meninggal
o
Menjadi kriminal
o
Alkoholik
o
Mengalami gangguan jiwa
sebelum berumur 35 tahun
Rini (2001) menyebutkan beberapa masalah
yang timbul pada anak korban abuse di berbagai segi kehidupan, seperti:
1.
Masalah relasional,
meliputi:
o
Kesulitan untuk
menjalin hubungsn maupun persahabatan
o
Merasa kesepian
o
Kesulitan dalam
membentuk hubungan yang harmonis
o
Sulit mempercayai diri
sendiri dan orang lain
o
Menjalin hubungan yang
tidak sehat, misalnya terlalu tergantung atau terlalu mandiri
o
Sulit membagai
perhatian antara mengurus diri sendiri dengan mengurus orang lain
o
Mudah curiga dan
terlalu berhati-hati dengan orang lain
o
Prilakunya tidak
sepontan
o
Kesulitan menyesuaikan
diri
o
Merasa takut menjalin
hubungan fisik dengan orang lain
o
Lebih suka menyindiri
daripada bermain dengan teman-temannya
o
Suka memusuhi orang
lain dan dimusuhi
o
Sulit membuat komitment
o
Terlalu bertanggung
jawab atau justru lari dari tanggungjawabnya
2.
Masalah emosional
meliputi:
·
Merasa bersalah, malu
·
Menyimpan perasaan
dendam
·
Depresi
·
Merasa takut tertular
gangguan mental yang dialami orangtua
·
Merasa takut masalah
dirinya diketahui orang lain
·
Tidak mampu
mengekspresikan kemarahan secara konstruktif atau positif
·
Merasa bingung dengan
identitasnya
·
Tidak mampu menghadapi
tuntutan kehidupan dengan segala masalahnya
3. Masalah
kognisi, meliputi:
·
Punya persepsi yang
negatif terhadap kehidupan
·
Timbul pikiran negatif
tentang diri sendiri yang diikuti oleh tindakan yang cenderung merugikan diri
sendiri
·
Memberikan penilaian
yang rendah terhadap kemampuan atau prestasi diri sendiri
·
Sulit berkonsentrasi
dan menurunnya prestasi
·
Memilik citra diri yang
negatif
4. Masalah
perilaku meliputi:
·
Muncul prilaku
berbohong, mencuri, bolos sekolah
·
Perbuatan kriminal dan
kenakalan
·
Tidak mengurus diri
sendiri dengan baik
·
Menujukkan sikap dan
prilaku yang tidak wajar dan dibuat-buat untuk mencari perhatian
·
Muncul keluhan sulit
tidur
·
Kecanduan obat bius,
minumsm keras dan sebagainya
·
Muncul prilaku makan yang
tidak normal, seperti aneroxia atau bulimia
2.
Penanganan atau
Treatment Terhadap Child Abuse
Melihat
efek jangka panjang terhadap korban abuse yang tidak hanya mengenali diri
korban tetapi juga berpotensi untuk membahayakan lingkungan disekitarnya, maka
mengupayakan adanya treatment bagi korban abuse dan lingkungannya merupakan
suatu keharusan. Demikian pula, fokus treatment bukan saja pada korban abuse
(anak) tapi juga melibatkan orang tua dan sekitarnya, ada beberapa hal yang
bisa dilakukan untuk menangani masalah abuse ini. Ada berbagai macam treatment
yang diperlukan antara lain:
§ Medis,
apabila anak mengalami luka-luka fisik
§ Untuk
menghilangkan trauma akibat abuse, korban perlu mendapatkan penanganan
psikologis melalui konseling dan psikoterapi.
§ Orang
tua dan keluarga juga perlu dilibatkan dengan memberikan pelatihan yang
dibutuhkan, memberikan keterampilan baru agar lebih mampu untuk melakukan
coping
§ Kadang
berdasarkan situasi dan kondisi, anak perlu dipisahkan dari keluarga dan
kemudian baru mendapatkan treatment yang memadahi
3.
Pencegahan atau
Prevensi Abuse
Sebelum tindakan abuse terjadi, perlu
dicari penyebab terjadinya abuse dari orang dewasa terhadap anak-anak. Mengetahui
penyebab terjadinya abuse dapat menjadi informasi yang berguna untuk
menghindarkan anak dari tindakan abuse. Ada beberapa penyebab terjadinya abuse
yang dilakukan orang dewasa terhadap anak-anak:
§ Kehilangan
kontrol ketika mereka menghadapi masalah mereka masing-masing
§ Tidak
tahu cara mendisiplin anak
§ Pernah
menjadi korban abuse oleh orang tua mereka atau pasangan
§ Mengalami
kesulitan finansial
§ Kehilangan
kendali ketika menggunakan alkohol dan obat-obatan lainnya
Berdasarkan sebab-sebab diatas orang
dewasa bisa diajarkan atau dilatih keterampilan bagaimana mengendalikan emosi
(kemarahan), diberi pengetahuan mengenai perkembangan anak, keterampilan
mengenai cara pengasuhan dan pendisiplinan yang sehat, menjalani konseling dan
psikoterapi untuk mengeliminir dampak abuse yang mereka alami sebelumnya dan
sekaligus menyembuhkan luka batin dan lain-lain, sesuai dengan penyebabnya.
Khusus terhadap anak-anak yang rawan
terhadap seksual abuse, tindakan preventif yang perlu dilakukan supaya mereka
dapat menghindari kejadian tersebut adalah:
§ Mengajari
anak mengenal bagian-bagian tubuh yang sifatnya pribadi
§ Mendengarkan
dengan baik ketika anak mencoba untuk mengatakan sesuatu, khususnya jika itu
terlihat berat atau sulit baginya untuk mengatakannya
§ Memberi
anak cukup waktu dan perhatian
§ Mengetahui
dan mengawasi dengan siapa anak bermain
§ Membicarakan
mengenai abuse terhadap anak
§ Mengatakan
kepada orang lain yang memiliki otoritas bila ada dugaan anak mengalami abuse
Melakukan perubahan-perubahan terhadap
lingkungan juga dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya abuse dan bahkan
mengubah lingkungan dapat menjadi katalisator terjadi pemulihan bagi korban
abuse. Perubahan tersebut misalnya meliputi:
§ Menjauhkan
anak dari media yang berpotensi menimbulkan abuse, seperti mematikan
progam-progam televisi yang berisi adegan kekerasan
§ Memberikan
kegiatan-kegiatan yang positif dan dilakukan secara bersama-sama (banyak orang)
§ Membentuk
kelompok-kelompok pendukung dan bentuk-bentuk lain pemberdayaan masyarakat.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
1. Child
abuse adalah sikap/ tindakan-tindakan perlakuan salah yang dilakukan kepada
anak.
2. Assesment
merupakan proses dalam melakukan diagnosis yang hakikatnya adalah melakukan
identifikasi terhadap gambaran-gambaran yang berbeda dari setiap kasus
individual, seperti misalnya fungsi tingkah laku dan emosional anak-anak yang
tampak dan fungsi kognitif dan perseptual motor mereka.
3. Abuse
sering terjadi di dalam keluarga, hal ini terjadi karena keluarga tidak bisa
berfungsi sebagaimana mestinya. Hubungan antar keluarga tidak harmonis atau
ikatan emosi antar anggota keluarga tidak berjalan dengan baik.
B.
Saran
Jika ingin tindakan perlakuan salah/
child abuse tidak terjadi pada anak-anak/dalam keluarga, sebaiknya kita harus
menjaga hubungan keharmonisan antar keluarga.
DAFTAR
PUSTAKA
Siswanto,
2006. Kesehatan mental : konsep,
cakupan, dan perkembangannya. Yogyakarta : Andi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar